Mempelajari Sejarah dari Tempat-Tempat di Sekitaran Jalan Wastukencana I Gemeentehuis and The Freemasons

 


Minggu 19 Juni 2022 yang lalu untuk kedua kalinya aku ikutan lagi walking tour bersama komunitas @ceritabandung.id. Kalau pas pertama kali ikutan, aku ikutan sendiri, untuk yang kali ini aku pergi bersama seorang temanku. Setelah mengisi form pendaftaran di harI rabu sebelumnya, aku memutuskan untuk ikut rute Gemeentehuis and The Freemasons. Pas baca aku bingung sih, ini rute apaan yaa. Tapi semua terjawab saat tour dimulai.

Aku dan peserta lain berkumpul jam 08:30 di Museum Kota Bandung. Jujur itu pertama kalinya aku datang ke Museum Kota Bandung, bahkan baru tahu juga hahaha. Tapi ya seperti biasa, tidak afdol suatu acara kalau ga ada bagian ngaretnya, yang seharusnya 08:30 udah mulai, jadi baru mulai sekitar pukul 09:00 karena harus menunggu semua peserta datang lengkap.


Ÿ Tentang Gemeentehuis

Sebelum memulai perjalanan, di Museum Kota Bandung dijelaskan terlebih dahulu arti dari nama rute ini. Gemeentehuis sendiri memiliki arti yaitu balaikota atau pemerintahan. Storyteller juga menceritakan bagaimana bisa kota Bandung dipillih menjadi pusat pemerintahan. Dulu kala Tanah Parahyangan ini sempat dikuasai oleh kerajaan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran memiliki bawahan yang bernama kerajaan Sumedang Larang yang pusatnya di Ciparay. Saat dikuasai oleh kerajaan Sumedang Larang sempat terjadi pergantian kekuasaan di tanah Parahyangan ini. Kerajaan Sumedang Larang sempat berperang dengan kerajaan Cirebon yang mengakibatkan kerajaan Sumedang Larang melemah. Lalu kemudian sempat bertarung juga dengan kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram ini jugalah yang mengubah nama Sumedang Larang menjadi Parahyangan. Parahyangan sendiri memiliki arti tempat para dewa. Setelah itu ada kekuasaan dari bangsa-bangsa Eropa yang menjajah kota Bandung. Bukan oleh Hindia Belanda melainkan oleh VOC. VOC yang pertama datang dan menguasai kota Bandung. Kemudian dari VOC kekuasaan diserahkan pada Belanda kemudian ke Inggris. Pemindahan kekuasaan yang terjadi sangatlah sengit dan melibatkan berbagai kerajaan pada masa itu. 

Lalu, bagaimana akhirnya kota Bandung bisa berstatus menjadi Gemeentehuis? Jadi Tujuan Belanda untuk meningkatkan status kota Bandung menjadi Gemeentehuis adalah guna bisa mengakomodir  kepentingan orang-orang Eropa. Karena pada saat itu sempat muncul wacana Kota Bandung akan menggantikan Kota Batavia sebagai Ibukota karena Batavia dianggap kurang kondusif dan mengakibatkan orang Eropa banyak yang berpindah ke Kota Bandung.

Sebelum berbentuk sebagai kota, Bandung berbentuk sebagai Kerasidenan atau Kebupatian yang berpusat di Cianjur, namun kemudian dipindahkan lagi karena letusan Gunung Gede Pangrango. Ketika pindah lagi ke Bandung tetap masih berstatus sebagai Kerasidenan yang berpusat di Gedung Pakuan (nama sekarang). Barulah pada 1 April 1906, seiring banyaknya arus perpindahan orang Eropa dari Batavia ke Bandung, mengingat akan adanya wacana pemindahan Ibukota, akhirnya status Bandung pun berubah menjadi Kota setelah sebelumnya berstatus sebagai Kerasidenan. Karena telah menjadi Kota, otomatis Bandung memiliki kewenangan untuk mengurus kotanya sendiri dan butuh tempat untuk menjalankan pemerintahan yaitu Gemeentehuis itu sendiri.


Ÿ Tentang Freemasons

Setelah membahas tentang Gemeentehuis, storyteller menjelaskan tentang Freemasons. Freemasons sendiri secara bahasa berarti Tukang Batu yang Bebas. Namun sebenarnya ini adalah sebuah organisasi yang diidentikkan dengan orang-orang yang bekerja di konstruksi. Tapi kemudian mereka juga diidentikkan dengan orang-orang yang memiliki pemikiran bebas. Organisasi ini cukup kontroversial pada masanya, namun juga turut ikut dalam pembangunan Kota Bandung seperti membangun sekolah, memberikan kredit ringan pada masyarakat untuk menghindari praktik-praktik rentenir. Juga sering mengajar anak nakal agar menjadi baik.

Setelah menjelaskan arti dari nama rute yang kita jalani, storyteller lanjut menjelaskan tempat-tempat yang kita kunjungi dimulai dari titik kumpul yaitu Museum Kota Bandung.


1.    1.  Museum Kota Bandung

Dulu ini adalah bangunan sebuah TK yang dibangun oleh Freemasons. Dana pembangunannya didapatkan dari hasil lotre, judi dan ada juga yang dari donasi. Karena mereka organisasi yang berpikiran bebas, jadi segala macam cara mereka lakukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka, salah satunya di bidang Pendidikan. Murid yang bersekolah di TK ini didominasi oleh pribumi dan Belanda. Namun seiring waktu berjalan, pamor TK ini menurun karena mulai bermunculan Sekolah Katolik Roma.

 

Museum Kota Bandung


Patung Ibu Emma Poeradiredja

Di Museum Kota Bandung juga terdapat sebuah patung Pahlawan perempuan Sunda, yaitu Ibu Emma Poeradiredja. Beliau memiliki misi untuk menyejajarkan kaum perempuan dan laki-laki. Beliau juga adalah sosok yang menggagas perayaan hari Ibu setiap 22 Desember.

Emma Poeradiredja


1.    2.  Balaikota

Sebelum menjadi Balaikota, dulunya ini merupakan sebuah gudang kopi. Lalu mengalami pembangunan pertama untuk diubah menjadi balaikota pada tahun 1906. Kemudian di tahun 1920 dilakukan lagi pembangunan bangunan utama, dan renovasi terakhir terjadi di tahun 1930. Di gerbang Balaikota tempat kami berdiri saat itu juga dulunya merupakan sebuah jalan yang bernama jalan raja. Jalan raja tersebut tembus hingga ke taman Dewi Sartika (nama sekarang). Dinamakan jalan Raja karena dulunya para anak raja menjadikan jalan tersebut sebagai tempat mereka berkumpul.

Balaikota





Jalan Raja



1.     3. Sekolah Santa Angela

Tepat di seberang Balaikota terdapat sebuah sekolah yaitu Santa Angela. Santa Angela merupakan sekolah dari peninggalan orang Katolik Roma. Dulu untuk membangun sebuah sekolah bukanlah hal yang mudah, maka dari itu para guru dan suster yang saat itu juga tidak berpenghasilan, berinisiatif untuk menyelenggarakan kegiatan membuat kerajinan tangan agar bisa mendapatkan murid.

 

SD-SMP-SMA Santa Angela

 

1.     4. SDN Banjarsari

Berjalan hanya beberapa langkah ke depan, tepat di samping Sekolah Santa Angela terdapat SDN Banjarsari. SDN Banjarsari dulunya merupakan tempat Praktek Kerja Lapangan atau tempat praktek mengajar bagi murid yang bersekolah di sekolah raja atau sekolah pembibitan. Sekolah raja atau sekolah pembibitan sendiri adalah semacam sekolah untuk mencetak profesi guru. Jadi jika diibaratkan sekolah raja seperti UPI pada masa sekarang, dan SDN Banjarsari adalah tempat PKL-nya. Dulu profesi sebagai guru merupakan profesi yang paling diincar oleh pribumi. Karena jika seorang pribumi menjadi guru, mereka akan mendapatkan privilege dari Belanda.

SDN Banjarsari



1.     5.  Polrestabes

Kami pun kembali berjalan dari SDN Banjarsari, menuju ke Taman Vanda dan duduk di sekitaran Taman Vanda. Sambil kami duduk, storyteller pun menjelaskan tentang sebuah Gedung yang terletak di seberang Taman Vanda yaitu Polrestabes. Kalau tadi SDN Banjarsari adalah tempat praktek mengajar bagi murid yang bersekolah di Sekolah Raja atau Sekolah Pembibitan, maka Polrestabes adalah tempat sekolah itu. Sekolah Raja ini diperuntukkan untuk warga Pribumi maupun Belanda. Namun, hanya Pribumi yang memiliki kedudukan yang dapat bersekolah di sini, seperti anak Walikota atau anak Bupati. Anak-anak dari sekolah ini jugalah yang tadi sering berkumpul di area Balaikota hingga ada nama jalan, yaitu jalan Raja. Di Sekolah Raja ini juga terdapat sebuah perpustakaan yang mana buku milik perpustakaan tersebut seringkali dipinjam oleh Ibu Inggit Garnasih untuk diberikan kepada Bung Karno yang kala itu dipenjara di penjara Banceuy Bandung.

Polrestabes




1.     6.  Hotel El Royale

Suasana makin terik, kami pun mencari tempat duduk yang lebih teduh namun masih tetap di Taman Vanda. Kini storyteller menjelaskan tentang sejarah sebuah hotel ternama di Kota Bandung yang terletak sangat dekat dengan taman Vanda, yaitu Hotel El Royale. Pada awalnya hotel El Royale adalah sebuah hotel kecil yang dimiliki oleh seorang wanita asal Swiss yang bernama Ibu Anna. Hotel tersebut bernama Van Hengel. Di tahun 1930, ada seorang pribumi yang bernama Bapak Ruchiyat datang untuk melamar pekerjaan ke hotel tersebut sebagai Receptionist dan kemudian diterima bekerja di hotel tersebut. Seiring waktu berjalan, tentara Jepang mulai datang ke Indonesia. Hal tersebut membuat Ibu Anna sang pemilik hotel mulai kewalahan mengurus hotel dan berniat ingin menjual hotel tersebut kemudian kembali ke Swiss. Lalu berceritalah Ia kepada Bapak Ruchiyat tentang niatnya tersebut. Bapak Ruchiyat yang mendengar cerita itu akhirnya menawarkan diri untuk membeli hotel tersebut dari Ibu Anna. Namun Bapak Ruchiyat ingin membeli hotel tersebut dengan metode pembayaran dicicil. Ibu Anna pun setuju untuk menjual hotel tersebut kepada Bapak Ruchiyat. Akhirnya setelah terjadi kesepakatan dan sebagainya, hotel tersebut resmi dimiliki oleh Bapak Ruchiyat.

Hotel yang awalnya bernama Van Hengel kemudian diganti menjadi Panghegar karena saat itu terjadi nasionalisasi yang mana mengharuskan nama-nama yang berbau Eropa harus diubah. Lagipula orang-orang saat itu agak kesulitan dalam mengucapkan kata Van Hengel. Setelah bertahun-tahun menyandang nama Panghegar, pada tahun 2017 karena terjadi perubahan management, akhirnya diubahlah namanya menjadi El Royale.

 

Hotel El Royale



1.     7. Taman Vanda

Masih dari tempat yang sama, kini storyteller menceritakan tentang Taman Vanda. Taman Vanda memiliki perjalanan sejarah yang panjang sebelum akhirnya menjadi sebuah taman seperti sekarang. Mulanya Taman Vanda adalah sebuah gereja Katolik pertama di Kota Bandung yang bernama St.Regis. Saat tahun 1800an banyak orang Eropa yang datang ke Bandung dengan berbagai macam urusan. Pemerintah Hindia Belanda pun akhirnya membangun gereja tersebut. Namun karena overkapasitas, di tahun 1920an gereja tersebut dirobohkan dan diganti menjadi sebuah bioskop yang bernama Rexy atau Panti Budaya. Dari bioskop, dihancurkan kembali menjadi sebuah ruang belajar untuk mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan. Kemudian di tahun 1950an ruang kelas kembali dihancurkan dan diubah menjadi Bioskop yang bernama bioskop Vanda, namun karena bangkrut, di tahun 1990an bisokop Vanda dihancurkan dan menjadi taman hingga sekarang.

 

Taman Vanda



1.     8.  Gereja Katedral

Masih di tempat yang sama, setelah menjelaskan sejarah Taman Vanda, kini giliran menjelaskan tentang Gereja Katedral yang letaknya ada di sebelah hotel El Royale. Gereja Katedral ini adalah gereja Katolik yang menjadi pengganti gereja St.Regis yang telah dihancurkan. Gereja Katedral dibangun di atas lahan bekas peternakan yang dirancang oleh Wolff Schoemaker. Uniknya, bangunan gereja ini akan terlihat seperti bentuk salib apabila dilihat dari atas.

Gereja Katedral



1.      9. Bank Indonesia

Setelah mendengarkan penjelasan tentang Gereja Katedral. Kami pun sempatkan waktu untuk berfoto bersama di Taman Vanda kemudian melanjutkan perjalanan lagi ke Bank Indonesia. Dulu kala Bank Indonesia ini bernama De Javasche Bank. Tidak seperti di kota-kota lainnya seperti Semarang, Batavia ataupun Surabaya yang mana tujuan pembangunan Bank memang untuk kegiatan perbankan, untuk di Kota Bandung sendiri tujuan dibangunnya Bank ini adalah untuk bisa menyimpan harta-harta milik orang Belanda ketika waktu itu akan terjadi perang. Alasan disimpan di Bank yang terletak di Bandung karena menurut pemerintah Belanda, kota Bandung tempat yang cukup strategis dan apalagi jika dari daerah Batavia hendak ke Bandung harus melewati kota Cimahi terlebih dahulu yang mana Cimahi adalah tempat basis pertahanan militer Belanda, jadi mereka berpikir akan aman jika harta milik mereka disimpan di Kota Bandung dibanding kota-kota lain.

 

Bank Indonesia


1.    10. Taman Dewi Sartika

Hanya dengan menyebrang dari Bank Indonesia, sudah bisa kita temui taman Dewi Sartika yang letaknya menyatu dengan area Balaikota. Dulu nama taman ini adalah taman Pieters Park yang juga merupakan taman pertama di Kota Bandung, nama taman ini diambil dari nama salah satu asisten kerasidenan. Pada masanya pemerintah Hindia Belanda memang suka sekali membuat taman. Taman ini juga menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Pribumi. Hingga suatu ketika pemerintah Hindia Belanda sempat merasa terganggu dengan adanya kegiatan berkumpul yang dilakukan oleh pribumi karena mereka merasa para pribumi berisik. Jadi akhirnya Hindia Belanda sempat melarang para pribumi untuk datang berkumpul di taman ini. Pemerintah Hindia Belanda khawatir dengan suara berisik itu akan mengganggu, apalagi Taman Pieters Park dekat dengan area peribadatan. Di masa kini namanya sudah menjadi Taman Dewi Sartika, tentu saja karena di taman ini terdapat patung Ibu Dewi Sartika yaitu seorang pahlawan perempuan dari tanah Sunda. 

Taman Dewi Sartika


1.    11. Gereja Bethel

Kami para peserta pun beranjak dari Taman Dewi Sartika menuju Gereja Bethel yang terletak di jalan Wastukencana. Karena itu adalah hari minggu, otomatis saat kami sedang mendengarkan penjelasan dari storyteller, kondisi halaman gereja sedang ramai oleh para jemaat gereja. Gereja Bethel sendiri merupakan sebuah gereja Protestan yang dirancang oleh Wolff Schoemaker. Dalam pembangunan Gereja Bethel setiap ornament yang berada dalamnya terinspirasi dari Al-Kitab.

Gereja Bethel


1.    12.   SMKN 1 Bandung

Tepat di sebelah Gereja Bethel terdapat sebuah sekolah yang kini dikenal sebagai SMKN 1 Bandung. Pada masanya sekolah ini merupaka sekolah bagi anak-anak pegawai Balaikota juga anak-anak tentara Hindia Belanda.

SMKN 1 Bandung



1.    13. Masjid Al-Ukhuwah

Masih sejajar dengan SMKN 1 Bandung, hanya cukup dengan berjalan lurus ke depan dapat kita temui sebuah masjid yaitu Masjid Al-Ukhuwah. Saat kami datang, sedang ada kegiatan keagamaan di dalam masjid, sehingga membuat storyteller menurunkan volume microfon-nya dan menjelaskan dengan pelan. Berbicara di awal perihal komunitas Freemasons, masjid Al-Ukhuwah dulunya merupakan markas pertama bagi organisasi ini. Stigma orang Pribumi kepada organisasi Freemasons sangatlah negatif. Maka dari itu orang pribumi memberikan julukan “Gedong Setan” kepada markas Freemasons ini. Diberi julukan tersebut juga karena suasana markas ini saat malam hari terlihat sangat menyeramkan. Makanya, anak-anak saat itu apabila sudah memasuki waktu maghrib dilarang keras untuk keluar rumah dan berjalan di sekitaran jalan Wastukencana.

 

Masjid Al-Ukhuwah



1.     14. Bandoengsche Melk Centrale (BMC)

Tak jauh dari masjid Al-Ukhuwah, hanya berjalan ke area sampingnya saja, kami diajak mengunjungi sebuah restoran yang menu utamanya menjual produk dari susu yaitu Bandoengsche Melk Centre atau BMC. BMC sendiri bisa dibilang dibangun atas inisiasi dari sebuah keluarga asal Italia yang bernama keluarga Urson. Keluarga Urson menetap di Lembang dan mendirikan usaha peternakan sapi perah. Saat itu usaha penjualan susu sapi masih sangatlah jarang. Makin hari usaha keluarga Urson semakin meningkat hingga tempat penyimpanan susu sudah tidak mampu menampung persediaan susu yang ada. Lalu keluarga Urson meminta kepada pemerintah Hindia Belanda untuk dibuatkan sebuah tempat penyimpanan susu. Dari situlah akhirnya dibangun BMC.

 

BMC


1.     15. Rumah Wastu

Setelah beranjak dari BMC, kami pun menyusuri lagi jalan Wastukencana hingga tiba di sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Rumah tersebut bercat putih dan terlihat masih bertahan dengan interior jaman dulu. Rumah tersebut adalah rumah Wastu. Sebenarnya aku sangat gak asing sama rumah ini. Karena setiap lewat jalan ini pasti lihat rumah itu. Ternyata rumah Wastu dulunya adalah sebuah hotel yang bernama Hotel Donk. Pemiliknya adalah keluarga Urson. Tak cuma beroperasi sebagai hotel, tapi konon katanya hotel ini juga beroperasi sebagai tempat prostitusi. Banyak sekali tentara Belanda yang datang ke tempat itu. Kini, rumah Wastu telah dimiliki oleh seseorang. Lucunya, pas kami lagi berdiri di halaman rumah tersebut, tiba-tiba sang pemilik rumah datang. 

 

Rumah Wastu


1.      

16.      16. Jalan Merdeka & BIP

Dari rumah Wastu kami pun berjalan terus menyusuri jalan menanjak menuju jalan Merdeka. Sejarah jalan Merdeka sendiri tidak ada kaitannya sama sekali dengan kemerdekaan Indonesia. Nama jalan Merdeka tadinya bernama Jalan Merdika, yang mana nama Merdika diambil dari nama sebuah kampung di jalan Pajajaran yaitu kampung Merdika Lio. Dulu saat pemerintah Hindia Belanda sedang membangun Gedung-gedung tinggi di Kota Bandung, pemerintah Belanda sempat mempertanyakan apa kontribusi dari warga Bandung dalam pembangunan ini. Inginnya Belanda, warga Bandung bisa menyumbang walau hanya sedikit saja. Bupati Bandung yang saat itu ditanya seperti itu oleh Belanda, kemudian menyampaikannya kepada warga dan terdengar oleh seluruh warga kampung yang ada di sekitaran Wastukencana & Balubur Hilir (sekarang menjadi kampung Merdeka Lio di Pajajaran). Kemudian warga kampung pun menyanggupi untuk menyumbang bahan-bahan bangunan untuk pembangunan Gedung dengan syarat mereka enggan dibebankan atas pajak, mereka ingin dimerdekakan dari urusan pajak. Akhirnya setelah ada kesepakatan antara Bupati, warga kampung dan juga pemerintah Hindia Belanda, akhirnya disetujui bahwa tidak apa-apa jika warga kampung hanya ingin menyumbang bahan bangunan saja tanpa harus membayar pajak.

Di Jalan Merdeka juga terdapat sebuah mall yang sangat terkenal yaitu Bandung Indah Plaza atau disingkat BIP. BIP ini dulunya merupakan hotel yang dibangun oleh anggota Freemasons. Selain menjelaskan soal BIP, tepat di seberang mall BIP terdapat bangunan bekas bioskop yang bernama Bioskop Panti Karya. Bioskop ini didirikan pada tahun 1950an dan dirobohkan di tahun 1980an karena kalah bersaing. 

Mall BIP


gedung bekas bioskop




1.     17. Toko Almanah

Kami pun beranjak dari jalan Merdeka menuju ke area perempatan jalan Merdeka dan jalan Aceh. Disitu terletak sebuah Gedung yang kini merupakan kantor dan juga perpustakaan milik Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Sebelum dibeli oleh UNPAR, Gedung ini merupakan toko kue dan eskrim susu yang bernama Almanah.

Toko Almanah


Setelah dari perpustakaan UNPAR kami pun kembali lagi ke titik awal temu kami yaitu Museum Kota Bandung. Di Museum Kota Bandung kami berfoto bersama dan tidak lupa membayar biaya walking tour seikhlasnya juga mengisi google form tentang kepuasan selama mengkuti tour. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 12:00 siang, storyteller pun bilang kalau Museum Kota Bandung sudah dibuka dan kita bisa masuk secara gratis. Akhirnya aku juga para peserta lain masuk ke dalam Museum Kota Bandung untuk melihat-lihat suasanya di dalamnya. Ini juga pertama kalinya bagiku masuk ke dalam Museum Kota Bandung.

Perjalanan ini merupakan walking tour kedua yang aku ikuti, semoga ada rezeki lagi dan aku bisa mengikuti semua  rutenya, aamiin.

 


 

 





 


Komentar

Postingan Populer