Terwujudnya Keinginan Walau Bukan dengan Cara yang Diinginkan


Setelah hampir sembilan tahun bekerja di sebuah perusahaan, akhirnya aku harus melepaskan pekerjaan dan posisiku. Sungguh terasa begitu cepat, bahkan seperti tak terduga kedatangannya. Ada beberapa saat dimana aku merasa seperti ini semua mimpi, walau sebenarnya ini adalah hal yang aku inginkan, tapi bukan dengan cara menempuh jalan seperti ini.

 

Resign. Satu kata yang sebenarnya mudah dilakukan, namun sulit dijalankan. Entah sejak kapan memang aku ingin resign. Entah aku yang kurang bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan, atau aku yang sudah merasa tidak sanggup dengan segala beban kerja, serta menghadapi berbagai kepala dengan segala isinya yang kadang bertentangan denganku.

 

Resign itu mudah, hanya saja perjalanan setelahnya yang sulit. Itulah yang selalu jadi pertimbanganku mengapa resign hanyalah jadi omong kosong yang tidak pernah terjadi. Sembari terus bekerja, aku tetap berupaya melamar pekerjaan kemana pun, aku sangat berharap aku bisa resign dengan alasan aku sudah memiliki pekerjaan baru, karena bagaimana pun aku sadar, aku ini siapa, aku ini apa, di pikiranku amat sangat mustahil kalau harus resign tanpa memiliki pekerjaan baru. Memilih resign tanpa pekerjaan baru laksana bunuh diri, tapi bertahan di pekerjaan itu pun rasanya seperti menyakiti diri sendiri, sebab aku sudah lama tak betah. Seringkali mulutku mengucap ingin resign berulang-ulang saat menghadapi beban yang ku rasa sangat berat. Mungkin semua ucapanku tercatat malaikat, dan terwujud walau dengan cara yang memusingkan kepala.

 

Penuh Pertimbangan

Akhir Januari 2022 aku mengalami suatu hal, hingga menjadi titik balik untukku merenungi pekerjaan ini. Apakah masih pantas untuk ku pertahankan? “Aku sedang kerja, apa dikerjain?”, pikirku saat itu. Saking kecewanya dengan kejadian di hari itu aku sudah tak sanggup lagi untuk ngedumel tentang perasaanku. Aku hanya bisa mati-matian menguatkan diri dan menabahkan hati. Terlintas pikiran ingin nekad resign di akhir bulan februari walau tanpa pekerjaan baru. Lagi-lagi itu hanya pikiran.

 

10 Februari 2022, aku mengalami hal yang tidak menyenangkan. Terjadi sebuah kesalahpahaman. Aku dituduh melakukan kesalahan dalam bekerja. Sayangnya *dia* yang menuduhku tak mau mendengarkan penjelasanku, pun penjelasan kedua Dept Head-ku, bahwa apa yang ku lakukan itu benar, tidak menyalahi aturan. Bukan berniat mengelak atau menghindar, tapi memang *dia* yang bersalah dan tak mau mengerti dengan pekerjaan ini (padahal dia tidak memiliki basic sama sekali dengan pekerjaan ini). *Dia* bersikukuh dengan pendapatnya dan menutup telinganya rapat-rapat. Kami hanya bisa pasrah mengahadapi orang ini. Tak sampai disitu, tuduhan *dia* kepadaku juga ia sampaikan kepada karyawan Department lain saat berkumpul pagi. Apa yang *dia* tuduhkan padaku saja sudah termasuk fitnah, lalu *dia* bicarakan lagi pada orang banyak. Astagfirullah, sungguh aku amat sangat kecewa dengan kejadian ini. Di posisi ini aku masih mencoba bertahan, tak terpikirkan untuk resign karena ucapan rekanku yang berkata sebentar lagi akan tiba bulan Ramadhan dan Idulfitri. Ku lihat kalender, ku coba berhitung, ku coba pertimbangkan segala macamnya, hingga muncul pemikiran, resign setelah Idulfitri saja.

 

Terulang kembali, lebih menyakitkan, dan membulatkan tekad

Hari berlalu, ku kira semua akan membaik, namun ternyata 20 Februari 2022 menjadi hari yang mungkin takkan pernah ku lupakan seumur hidup. Aku yang selama ini hampir menjalani hidup dengan datar dan jarang berkonflik dengan siapapun, justru harus mengalami hal yang terduga. Fitnah datang lagi, hanya selang sepuluh hari dari kejadian sebelumnya. Fitnah kali ini lebih berat, karena tuduhannya sudah tidak main-main lagi. Aku dituduh melakukan hal licik terhadap perusahaan. Aku bingung, bahkan aku saja tak tahu letak salahku dimana, ya karena memang aku pun tidak melakukan kesalahan apapun seperti yang *dia* tuduhkan. Bahkan *dia* pun tak dapat membuktikan dengan ucapan jelas letak kesalahanku dimana. Bukti dari tanganku pun tak ada. Ya karena memang aku tak melakukan apapun. Aku tak melakukan kelicikan apapun. Aku diperlakukan sudah sangat aneh dan tak wajar. Aku di introgasi layaknya berada di kantor polisi. Aku dipojokkan dan dituduh atas hal yang tak ku lakukan. Yang paling parah, bahkan hingga diancam akan dipenjarakan. Wow. Tak hanya itu, aku juga dipaksa untuk mengaku saja dengan iming-iming akan diberikan jabatan yang lebih tinggi lagi, astagfirullah, aku benar-benar tak melakukan tindak pidana apapun. Kondisiku sangat tertekan, hingga menangis. Tapi tangisanku malah dianggap sebagai bentukku menyembunyikan kebenaran. *Dia* berujar “dia (aku) kalau gak salah, ngapain nangis”. Ya Allah padahal aku menangis karena aku benar-benar tertekan mendapat perlakuan seperti itu, bukan karena aku menutupi fakta. Aku tak menutupi apapun karena ya memang tidak ada yang perlu ditutupi. Berjam-jam aku ditahan, tak boleh bekerja, pekerjaanku terpaksa harus ku tinggal. Puncak dari semua kejadian hari itu adalah HP ku disita beserta ditanya passwordnya apa, sungguh sudah sangat melanggar privasiku. Aku pun akhirnya keluar dari ruangan tempat introgasi itu dan memilih untuk duduk di luar. Aku pun duduk sendirian dan bingung harus berbuat apa karena untuk melanjutkan pekerjaan pun aku dilarang. Tak ada satu pun orang yang bisa menolongku saat itu, maka Allah satu-satunya yang bisa ku mintai pertolongan lewat doa dan istigfar tak henti. Selama masa diamku itu, tekadku menjadi bulat untuk segera resign setelah kejadian ini. Setelah beberapa jam berdiam diri tak boleh kemana-mana, ku beranikan diri untuk meminta ijin sholat Dzuhur kepada *dia*, dan alhamdulillah diizinkan oleh *dia*, namun sebelum sholat aku harus tetep minta ijin sama salah satu orang lainnya. Lalu aku pun ke bawah meminta ijin untuk sholat dzuhur dan lalu menjalankan sholat. Aku sholat dalam keadaan menangis saking tertekannya dengan kondisi ini. Setelah sholat, aku bertemu dengan yang tadi mengizinkanku sholat, lalu aku menceritakan segala hal dari sudut pandangku. Yang mendengarkan ceritaku pun menganggap tak ada hal yang salah dari apa yang ku lakukan, sambil menangis aku menceritakannya dan ditenangkan pula. Setelah itu akhirnya aku diperbolehkan untuk kembali melanjutkan pekerjaanku walau tidak bisa semua, namun HPku masih ditahan. Singkat cerita, hari itu terlewati dengan segala carut marut yang ada. Fisikku aman, tapi tidak dengan mentalku. HPku sudah bisa kembali ke tanganku dan aku pun kembali pulang ke rumah dengan membawa tekad bulat. RESIGN!

 

Tak ada “titik”, melainkan “koma”

Esok harinya aku memaksakan diri untuk tetap masuk kerja, walau bayang-bayang kejadian hari kemarin masih menghantui. Berat rasanya. Tapi aku harus tetap masuk, karena kejadian ini belum aku ceritakan pada pihak HRD. Aku juga memaksakan masuk agar mengetahui ending dari kejaidan ini. Karena kemarin, aku tanyakan pada beberapa pihak yang terkait, katanya masih belum ada titik terang. Aku masuk dengan biasa, walau perasaanku sudah tak merasa nyaman sebenarnya. Paginya aku menceritakan kisahku pada HRD, lalu aku kembali bekerja menyelesaikan semua tugasku. Pikiranku sudah tak menentu ingin segera mengetahui ending dari ini semua. Siang harinya semua Dept Head rapat, aku semakin tak karuan, penasaran ingin tahu apa kejadian kemarin dibicarakan lagi saat rapat atau tidak. Ketika akhirnya aku tahu rapat berakhir, aku datangi tiga Dept Head terkait yang tahu tentang masalah hari minggu kemarin. Dan, ternyata, masalah hari minggu kemarin sama sekali tak disinggung, semua dingin seperti tak ada apa-apa. Masalahnya seperti lenyap begitu saja terbawa angin. Semua kembali normal seperti sedia kala tanpa memikirkan perasaanku yang masih belum kembali normal setelah kejadian kemarin. Aku hanya butuh ending dari kasus ini. Apa pendapat *dia* yang telah menuduhku. Kenapa saat hari minggu mati-matian menuduhku dengan segala tuduhan tak berdasar, mati-matian memaksaku jujur untuk hal yang tak ku lakukan sama sekali, tapi keesokan harinya langsung bersikap seolah tak ada apa-apa. Aku butuh ending dari kisah kemarin, aku butuh “titik”, bukan “koma” sebagai akhir kasus ini. Kenapa gantung! Aku sunguh kecewa dengan akhir dari ini semua. Resign pilihan terbaik yang akan segera ku putuskan.

 

Keputusan yang harus terlaksana

Akhirnya tiba hari dimana aku datang ke kantor bukan dalam rangka untuk bekerja, melainkan menyerahkan surat resign. Aku tidak resign sendiri, melainkan bersama dengan rekanku. Dia ingin resign juga karena sudah paranoid duluan takut menghadapi kasus sepertiku, difitnah. Maka dari itu dia memilih mengikutiku, tanpa paksaan dariku. Ku kira resign itu mudah, ternyata masih ada drama yang membayangi proses ini. Aku sudah tak sanggup kalau harus menulisnya di sini. Biarlah itu tertanam selamanya di kepalaku sebagai pengalaman yang tak terlupakan.

 

Berat hati melepaskan

Akhirnya, di awal maret 2022 aku resmi melepas segala hal yang terkait dengan kantor. Rasanya berat, karena bukan resign dengan jalan seperti ini yang ku inginkan. Yang terbayang di pikiranku dulu, aku resign ketika sudah memiliki pekerjaan baru, atau kalaupun aku resign tanpa memiliki pekerjaan baru, aku bisa pergi dengan langkah santai, tanpa embel-embel masalah, tanpa emosi, dan tanpa rasa sakit hati, aku ingin aku pergi dengan ikhlas. Resign dengan cara seperti ini malah jadi seperti aku dipaksa menyerahkan apa yang belum ingin ku serahkan. Rasanya semua seperti dicabut, dibawa paksa secara tiba-tiba. Memang, sebenarnya ending kasus itu tak ada, gantung. Tak ada keputusan yang memintaku untuk resign. Tapi aku merasa sudah paranoid kalau harus kembali bekerja. Seperti dihantui perasaan takut kapan akan difitnah lagi. Tiga hal penting yang membuat langkahku mantap untuk resign adalah, pertama, kedua fitnah itu hanya berselang 10 hari, aku jadi ketakutan keburu membayangkan hal yang tidak-tidak. Kedua, aku pun merasakan sakit hati yang luar biasa atas segala tuduhan, kemarahan, juga perlakuan *dia* kepadaku yang bahkan hingga mengorek privasiku. Ketiga, aku merasa untuk apa aku bertahan ketika aku sudah tidak dipercaya lagi. Dengan memfitnahku sama saja dengan aku sudah tidak dipercaya lagi. Tak ada lagi alasanku untuk bertahan. Aku sudah hancur secara mental sejak hari itu.

 

 

Masih banyak tanya menuntut jawab

Masih banyak yang ingin aku tanyakan, ingin aku katakan, aku ingin berdebat dengan *dia* yang telah menuduhku. Tapi berdebat dengannya sama halnya seperti berbicara dengan tong kosong yang nyaring bunyinya. Takkan pernah berakhir, hanya buang-buang energi saja. Walau efeknya rasa sesak di dada tak hilang dalam semalam, bahkan entah kapan aku benar-benar bisa mengikhlaskan semuanya. Menulis ini saja rasanya masih sedih karena harus mengingat-ingat lagi kejadian itu. Tapi aku akan belajar untuk mampu memaafkan seikhlas-ikhlasnya walau tak ada permintaan maaf terucap sedikit pun.

 

Kini

Kini aku menghabiskan waktu di rumah sembari tetap mengirimkan banyak lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Aku juga mengisi waktu dengan belajar excel dan tentu saja menulis. Semoga aku bisa segera mendapatkan pekerjaan baru. Aamiin.

 

Sungguh hidup memang tak tertebak arahnya kemana. Serampung apapun tuju telah dibuat, tetap takkan ada manusia yang bisa memastikan bahwa semua akan berjalan baik dan semuanya terwujud. Kadang kita memang diharuskan untuk bersiap atas segala kemungkinan yang tak tertebak bentuknya. Dan ketika yang terjadi justru sebuah hal yang tak kita inginkan atau bahkan juga yang tak bisa kita kendalikan, memang tak ada pilihan selain harus terus berjalan walau dengan perasaan cemas yang ada dalam diri kita.

 

Terima kasih dan maaf

Teruntuk diriku terima kasih karena sudah berjuang bersama-sama mengarungi kehidupan yang sungguh tak tertebak jalannya. Terima kasih karena terus berjalan walau didera letih baik secara fisik dan mental. Maaf sering memaksakan diri, maaf untuk sikap keras kepala, maaf untuk segala hal yang tak mengenakkan. Kamu hebat kamu kuat, tangis yang kadang menghiasi hari bukanlah pertanda kamu lemah, itu justru pertanda bahwa kamu masih manusia yang memiliki hati dan perasaan. Segala perasaan yang ada dalam dirimu itu valid, tak perlu ada yang meragukan karena yang benar-benar merasakannya kamu, bukan orang lain. Kehidupan belum berakhir, mari bersama-sama lagi menjalaninya. Tapi untuk kali ini ku berikan waktu untuk beristirahat sejenak, jangan terlalu lama ya! Mari isi masa istirahat ini dengan sabar dan memaafkan segala yang menyakiti dan juga mengecewakan. Ketika tiba waktunya di waktu yang tepat menurut Tuhan, kita pasti akan lebih kuat dan lebih baik lagi secara fisik pun mental. Terima kasih, dan maaf.

 

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan Populer