Mengejar

Selalu seperti itu, mencintai dalam diam. Tak pernah berubah. Bukannya aku tak mau mengungkapkannya. Hanya saja rasa malu lebih kuat menguasai diriku. Bukankah kebanyakan wanita di kejar, bukan mengejar
Tapi aku memang selalu berada dalam posisi mengejar, padahal orang yang aku kejar, tak pernah sekalipun menengok ke belakang untuk melihatku.

Pernah suatu saat aku mengejar seseorang, aku mendekatinya. Sekalipun aku tahu dia memiliki kekasih, tak menyurutkan niatku untuk mengejarnya. Saat itu aku tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Yang aku inginkan saat itu ya hanya ingin dekat dengannya. Perasaan yang awalnya hanya ingin sekedar dekat, akhirnya berubah menjadi rasa ingin memiliki. Apalagi ketika ku tahu jalinan cinta dia dengan kekasihnya kandas. Aku harap dia bisa mengerti semua perhatian yang aku berikan kepadanya. Tapi yang terjadi adalah, dia tetap mengacuhkanku, mengabaikan rasaku, menganggap perasaanku hanyalah lelucon. Hingga pada suatu hari aku berada di titik tertinggi memendam perasaan ini. Temannya yang selalu menjadi tempat curhatku menyarankanku agar aku mengungkapkan perasaan cinta secara langsung kepadanya. Jelas aku menolak mentah mentah ide itu. Akhirnya teman curhatku itulah yang menyampaikan perasaanku kepada dia. Tidak secara gamblang di jelaskan. Hanya saja teman curhatku itu hanya mengatakan pada dia, agar sedikit peka terhadap semua perhatian yang aku berikan. Dan dia pun hanya mengatakan "iya"

Esoknya hari yang sangat menegangkan buatku. Aku penasaran seperti apa sikapnya kepadaku. Ternyata semua di luar dugaan. Dia malah semakin menjauh. Tak lagi menyapa dan mengajak bercanda. Dia berubah sangat dingin. Aku bingung. Aku jadi menyesal menyuruh teman curhatku itu untuk berbicara tentang perasaanku kepadanya.

Hari hari terakhir menjelang kepergiannya aku benar benar terpuruk atas sikapnya kepadaku. Padahal dia akan segera pergi dari kehidupanku karena tugas kerjanya bersamaku telah berakhir. Hari hari terakhir yang aku bayangkan akan menjadi kenangan terindah untukku dan dia ternyata berubah buruk. Bahkan hingga hari terakhir dia bekerja, sikapnya tetap sama, dingin.

Sore hari menjelang pulang, aku mendekatinya mengajak berbicara. Aku meminta maaf. Tentu saja meminta maaf tentang urusan pekerjaan. Aku memang selalu melakukan ini apabila ada teman kerjaku yang telah menyelesaikan masa kerjanya di perusahaan. Dia hanya membalas seperlunya. Sama meminta maaf juga tentang urusan pekerjaan. Sama sekali tak menyinggung apapun tentang "kepekaan" yang aku minta lewat temanku tempo hari. Aku sedih, dia benar benar sangat mengabaikan perasaanku. Bahkan untuk membahasnya saja enggan. Padahal, walaupun dia tak membalas perasaanku, aku tak marah. Aku hanya ingin dia tahu. Bahwa aku mencintainya

Keesokan harinya, dia sudah tidak kerja bersamaku lagi. Aku kehilangan. Tapi hidup harus terus berjalan. Hari hari aku coba lewati tanpa dirinya. Memang sulit terasa. Namun aku harus tetap kuat, meski tanpanya. Aku pun juga harus berjuang mati-matian membunuh perasaanku kepadanya. Terkadang rindu melanda, tapi aku bisa apa?  "Kepekaan" yang aku minta saja dia tak menyanggupi.
Seiring waktu berjalan, Alhamdulillah aku bisa melupakannya. Aku mulai terbiasa tanpanya. Apalagi di antara kita memang tak pernah terjalin komunikasi yang intens. Aku pun Move On darinya. Menjalani hari tanpanya.

Komentar

Postingan Populer